pagi entah senja entah
pagi yang tak menemukan matahari
entah?
(!)
senja yang tak menemukan malam
entah?
(!)
pagi yang tak menemukan matahari
entah?
(!)
senja yang tak menemukan malam
entah?
(!)
“Sebab tubuh adalah kompleksitas.”
Esay Rohyati Sofjan
03 Desember 2004 - 05:41 AM -------------------------------------------------------------------------------
Kalimat di atas merupakan kutipan prolog dari surel (surat elektronik) untuk seorang kawan sesama peminat sastra kelahiran Riau yang kini bermukim di Batam; kala saya dipancing terus untuk membahas seksualitas dalam karya sastra sampai kehidupan.
16 halaman, arial, 10 pint, 1,5 spasi berbentuk semi-esai dengan subject V untuk beberapa tajuk Virgin, Vagina, Vulgar, dan Voila! ternyata telah "mengaparkannya". Adu debat yang panas mengenai wilayah selangkangan tampaknya merupakan topik aktual sepanjang masa untuk memikat siapa saja.
Lalu topik tersebut diangkat Aguk Irawan Mn. lagi dengan "Sastra Seksual dan Pembusukan Budaya"(Republika, 10 Oktober 2004). Sebuah pandangan yang terasa male bias dan penuh prasangka ketika menyorot seksualitas yang diusung perempuan penulis di Indonesia.
"Menghasilkan karya sastra seks liar, berarti menyaksikan diri kita bermain di dalamnya. Inilah teori kebudayaan. Sebab sastra merupakan tanggapan evaluatif terhadap kehidupan; sebagai semacam cermin yang memantulkan kehidupan kita sehari-hari. Dan seks adalah bagian yang sangat indah dari manusia karena menyangkut penyatuan jiwa."
Demikianlah paragraf ketiga menyiratkan paparan Aguk yang cenderung idealis dalam menilai seks sementara realitas sekitar menyuratkan hal yang terkadang bertolak belakang akan posisi seks secara ideal. Tak ada yang salah dari idealisasi seks ala Aguk, masalahnya setiap orang lahir dan dibentuk oleh persepsi yang mereka lakoni sepanjang usianya sehingga idealisme tersebut boleh jadi bertabrakan dengan paradigma seks yang jungkir balik.
Jika Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, sampai Dinar Rahayu (yang ayu-ayu) berikut sederet nama perempuan penulis lainnya (yang ayu maupun tidak) mengusung seksualitas dalam karyanya, boleh jadi merupakan cermin kehidupan mereka dalam memandang dunia yang jungkir baik tatanannya.
Lantas mengapa mereka pada umumnya memulai dengan wacana tubuh? Bagi Melani Budianta dalam wawancaranya dengan Jurnal Perempuan (No.30. 2003), berpendapat: "Karena tubuh bagian yang paling dekat denganperempuan. Dalam wacana-wacana lama, fungsi seksualitas perempuan dekat dengan melahirkan anak atau mereproduksi dan kemudian hidupnya diabadikan untuk membesarkan anak. Jadi perempuan cenderung tidak memiliki hak atas dirinya sendiri. Gerakan perempuan sudah menunjukkan bahwa semua orang berhak atas tubuhnya. Perempuan juga berhak atas kesehatan dan kenikmatan tubuhnya sendiri. Mungkin ini menjadi baru ketika biasanya begitu sopan santun terjaga, sehingga sedikit mengejutkan, barangkali. Tapi buat negara-negara tertentu hal ini sudah lama terjadi."
Demikianlah Melani Budianta berusaha objektif menilai dalam sudut pandangnya selaku kritikus sastra perempuan dan staf pengajar FIB UI. Sayangnya objektivitas tersebut tidak saya peroleh dari tulisan Aguk yang menyandingkan betapa kecilnya posisi perempuan penulis (seksualitas) di Indonesia dibanding nama-nama besar semacam Dante, Shakespeare, Cervantes, Goethe, Schiller, Balzac, Dostoyevski, Tolstoi, Neruda, Allende, Marquez, Coelho, Iqbal, Mutanabi, sampai Gibran dan sebagainya (yang barangkali nama lelaki pula).
Mengapa Aguk tidak menyandingkannya dengan nama perempuan penulis yang telah mendunia pula? Apakah keberadaan mereka memang dianggap in absentia untuk dilawanpadankan dengan perempuan penulis Indonesia yang "bukan apa-apa"?
Bagaimana dengan Simone de Beauvoir, tokoh eksistensialis dan feminis Prancis yang dalam trilogi novel Perempuan yang Dihancurkan (Bentang, 2003) takmengupas seksualitas secara vulgar melainkan tajam dan personal namun sangat menikam karena berkaitan dengan psikologi jiwa perempuan yangterperangkap dalam tubuhnya?
Atau Amy Tan dalam novel The Kitchen God’s Wife (Gramedia, 1994), memaparkan penderitaan Jiang Weili kala bersuamikan seorang lelaki tipikal "Dewa Dapur" yang buruk perangai. Di sana adegan seks bagi Amy cukuplah sebagai seks, bukan sesuatu yang harus “diperbuas” demi erotisme. Sebab Amy lebih fokus pada perjalanan hidup seorang perempuan yang melakoni kehidupan di Shanghai pada tahun 1920-an, lalu terjebak dalam Perang Dunia ke II sampai terdampar di Amerika dan memiliki kehidupan sebagai ibu yang bermasalah dengan anak perempuannya.
Namun tentunya ini merupakan semacam perkecualian, sebab di negara lain, seks pun bisa saja dipaparkan secara erotis sesuai selera pengarangnya. Baik lelaki maupun perempuan. Dan hal itu dianggap wajar atau malah bagian dari “keindahan”.
Ambil contoh, Albert Wendt dengan Codot di Pohon Kebebasan (YOI, 1995), sastrawan Samoa itu begitu enteng dan penuh prasangka dalam memandang seksualitas perempuan dengan cara penulisan yang male bias -- dan erotis meski parodis.
Lain lagi dengan Lina Espina Moore, dalam cerpen “Lelaki di Simpang Jalan” (antologi cerpen Lelaki di Simpang Jalan, YOI, 1988). Perempuan cerpenis Filipina ini terasa berani mendeskripsikan rincian perselingkuhan antara Dok Bahay dengan sekretarisnya dalam repetisi kalimat yang tak terbayangkan.
Di sana seks bermain dalam wilayah imajiner masing-masing penulis untuk turut diimajinasikan pembacanya pula dengan interpretasi makna yang berbeda.
Persoalannya, kembali pada seksualitas perempuan penulis di Indonesia yang menurut Aguk karya mereka menjurus rendah nilai estetikanya, jumud, elitis dan eksklusif; apakah semudah itu menggeneralisasi karya demikian? Bagaimana dengan pencarian bentuk tak bertepi yang barangkali sedang mereka lakukan? Bisa saja mereka terjebak dalam nilai komersial sehingga asyik bermain dalam wilayah selangkangan karena tuntutan “pasar”.
Pertanyaannya, bagaimana “pasar” itu bisa terbentuk? Apakah sengaja dibentuk sesuai pesanan atau keinginan masyarakat sendiri? Atau malah produsen (baca: penerbit) yang mendesakkan ideologi macam itu pada perempuan penulis untuk dilempar ke masyarakat luas? Atau memang merupakan kesadaran total perempuan penulis sendiri untuk bebas berekspresi dengan mengusung seksualitas dalam karya sastra? Toh, hal itu cukup laris pula.
Ada yang membingungkan mengapa Aguk mesti membandingkan fase kesusastraan saat ini dengan penulisan sastra masa jahiliyah yang ribuan tahun lalu usianya, sebab saya mengalami kesulitan untuk melakukan perbandingan karena tak berkompeten dalam bidang itu. Lalu mengapa pula nama Taha Husain kembali diungkit-ungkit? Bukankah di masanya Taha sendiri sempat dikecam oleh sebagian kalangan yang ingin memurnikan ajaran agama Islam karena ide-idenya dianggap liberal dan menyimpang dengan buku Fish Shirul Jahili (1926).
“Taha Husain yang pernah menjadi Menteri Pendidikan ini melakukan upaya sadar untuk menebar tanah Mesir dengan benih-benih budaya dan pendidikan Eropa. Imbauannya untuk membangunkan kembali budaya Firauni atau Yunani di Mesir dengan mengorbankan budaya Islam, mengguncangkan kaum fundamentalis. Kontradiksi Taha Husain cukup jelas. Budaya-budaya Firauni atau Yunani kuno tidakklah sama dengan budaya Eropa modern. Ia bekerja saam dengan rekannya Muhammad Husain Haikal untuk membangkitkan kembali budaya-budaya Firauni, Babilonia dan Assiria di Mesir. Karena semangat Firauni merupakan bagian dari Jiwa Mesir dan tidak dapat dihapuskan dari diri dan identitasnya, maka semangat ini harus dilestarikan dengan prioritas pertama adalah orang-orang Mesir kemudian yang lainnya. Klaim Taha Husain mencapai puncaknya ketika ia menyatakan bahwa Islam gagal untuk mengislamkan diri Mesir.” (Syed Habibul Haq Nadvi, Dinamika Islam, Risalah, 1984: 152)
Saya ingin menyandingkan pernyataan di atas tersebut dengan pernyataan Aguk di paragraf terakhir yang patut direnungkan:
“Dengan demikian, maka jangan berharap seksualitas fiksi perempuan memiliki peluang untuk hadir sebagai karya sastra besar (magnum ovus) yang tak lekang dimakan zaman. Tren ini hanyalah sastra populer yang menggebrak jagat sastra kita yang sejenak memang membeku. Maka untuk apa diapresiasi lebih lanjut lagi? Apalagi untuk dibanggakan.”
Begitu kritis Aguk mempertanyakan, seolah-olah penulisan seksualitas lebih membahayakan daripada ranah pemikiran politik. Padahal seksualitas sendiri tidak sesederhana itu. Ada kompleksitas yang menyertainya, namun kompleksitas itu pun penuh jebakan. Baik bagi perempuan penulisnya sendiri sampai pembaca.
Dalam wawancaranya dengan majalah Syir’ah No. 31 (Juni, 2004), Abidah El Khalieqy berujar, “Di semua ilmu pengetahuan: filsafat, sosiologi, dan lain sebagainya, kita akan menemukan perempuan diposisikan tidak pada posisi yang sebenarnya.” Begitulah Abidah berusaha menggugat agama lewat sastra.
Dalam Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Pustaka Pelajar, 2003), Mansour Fakih menulis: Dewasa ini agama mendapat ujian baru karena agama sering dianggap biang masalah, bahkan dijadikan kambing hitam atas terjadinya ketidakadilan gender. …Sejauh manakah pandangan tersebut dipengaruhi oleh atau memengaruhi kultur yang dikenal dengan patriarki? Lebih lanjut, apakah pelanggengan ketidakadilan gender secara luas dalam agama bersumber dari watak agama itu sendiri ataukah justru dari pemahaman, penafsiran, dan pemikiran keagamaan yang tidak mustahil dipengaruhi oleh tradisi dan kultur patriarki, ideologi kapitalisme maupun pandangan-pandangan lainnya? (Hlm. 128)
Jadi, dalam dunia yang bobrok, seks pun penuh interpretasi makna.***
Biodata Penulis
Rohyati Sofjan lahir di Bandung, 3 November 1975. Anggota milis guyubbahasa, mnemonic, penulislepas, bengkel-cerpen-nida, dan kunci-l. Sebagian karya proses kreatifnya yang berupa puisi, cerpen dan esai bertebaran di Pikiran Rakyat, Galamedia, Annida, buletin Jendela Newsletter, antologi puisi bersama Bandung dalam Puisi, Republika, Cybersastra, PETA NEWS, Syir’ah, Jawa Pos, dan beberapa pemikiran subjektif yang mempribadi tentang sastra dan hal ikhwal kehidupan dalam surel-surel panjang secara berantai ala milis yang ia kirim untuk beberapa kawan penulis dan peminat sastra. Masih bekerja di toko elektro. Alamat korespondensi: gurun_vanbandung@yahoo.com.
Bandung, 15 Oktober 2004, dini hari 01.35 WIB
Lembaga Seni dan Budaya Nahdlatul Ulama, NU Mesir
LAPORAN BUDAYA, DARI OBROLAN SENI DAN SASTRA BERSAMA CAK NUN DI WISMA NUSANTARA, NASR CITY, CAIRO, PADA SELASA 29 APRIL 2003, DENGANTEMA: "DULU, KINI DAN ESOK: KEMANA ARAH SASTRA INDONESIA?"
Reporter: Muhammad Shalahuddin Tema: Menggagas (Lahirnya) Sastra Indonesia BaruTanggal laporan: 30 April 2003
Selamanya, industrialisasi akan selalu menjadi penghalang bagi sastra. Sebab dilihat dari sifat dan tampilannya, sastra mempunyai dua unsur pokok sastra itu sendiri sebagai jiwa serta "isi" sesungguhnya yang ingin disampaikan oleh si empunya, dan yang kedua media sebagai wadah atau jasad dari jiwa tadi. Dalam cara lain, jika memakai rumus terminologi susastra, maka akan didapati 'su' sebagai jiwa yang tampil dalam jasad 'sastra'. Su adalah keindahan, yang dalam masalah ini dapat diartikan juga sebagai pokok pikiran, nasehat-nasehat yang baik, yang lahir dari hasil renungan jernih seorang sastrawan. Su adalah isi itu sendiri. Sedangkan sastra dapat diartikan tulisan, abjad-abjad, kertas, atau pun tinta yang melafalkan su tersebut. Ia hanyalah media artikulasi untuk menghantarkan sebuah 'isi' kepada khalayak. Demikian kira-kira salah satu poin yang mampu tertuang dalam Obrolan Seni & Sastra bersama Emha Ainun Nadjib di Wisma Nusantara Kairo kemarin (29/4) sore.
Obrolan yang dimaksudkan untuk membuka pintu bagi bangkitnya keusasteraan Indonesia, khususnya bagi kalangan Masyarakat Indonesia di Mesir ini, diselenggarakan atas kerjasama LSBNU Kairo dan Buletin Budaya Kinanah. Acara ini terbilang mendadak karena sosialisasinya berjalan dari mulut ke mulut satu hari sebelum hari H. Namun cukup sukses jika melihat jumlah peserta. Terbukti ruang aula Wisma Nusantara yang mampu menampung lebih 300 orang hampir penuh disesaki peminat sastra yang kebanyakan mahasiswa Indonesia pecinta sastra di Kairo.
Menyinggung kaitan antara industrialisasi dan sastra, Cak Nun—demikian Emha akrab dipanggil—mencoba mejelaskan hal ini menuju substansi yang lebih dalam. Seperti agama yang bersifat ruhi, maka sastra juga akan selalu dihantam oleh segala yang bersifat material (madi). Dalam menumbuhkan rasa optimisme terhadap kelanggengan sastra, Cak Nun memaparkan keselarasan antara ruh, agama, sastra dan benda-benda 'halus' lainnya. Antara 'yang halus' dan 'yang kasar'. Api adalah contoh yang bisa merasionalisasikan persinggungan antara 'yang halus' dan 'yang kasar' itu. Kita tidak bisa melihat inti api. Kita hanya tahu wujud api setelah ia menyentuh sebuah benda. Jadi yang panas itu belum tentu api, namun sifat api adalah panas. Warna merah yang kerap muncul sebagai perwujudan api, bukanlah api itu sendiri. Api tak mempunyai takaran untuk menentukan satuan berat dan panjangnya. Jika api yang kecil membakar sebuah benda, maka seluruh benda itu akan terus dilalapnya sebesar apa pun benda itu.
Satu hal menarik yang dipetik Cak Nun setelah melakukan dialog, dimana beberapa peserta merasa khawatir akan terkuburnya sastra karena marginalitas yang begitu kuat, bahwa selamanya: "sastra akan tetap marginal," ungkapnya. Dan kita tak perlu takut akan hal ini. Karena sastra tak akan mati oleh sebab ke-marginal-an itu. Sastra akan terus hidup jika ada yang mempunyai kepedulian untuk itu. Hanya mungkin yang akan mati medianya. Karena media erat lagi kaitannya dengan industrialisasi. Jika sebuah media sastra dianggap tidak layak jual, maka media itu akan gulung tikar. Tapi sastra itu sendiri tak akan pernah gulung tikar. Ia terus hidup dalam jiwa pengarang dan orang-orang yang memiliki rasa kesusasteraan.
Dalam obrolan ini, Cak Nun beberapa kali memaparkan pemikirannya dengan jalan yang agak menukik pada hal-hal substansi total. Menurutnya, kebenaran akan selalu marginal. Penyebabnya jelas: ada sesuatu yang menekan kebenaran itu agar selalu menjadi inferior. Ada pertarungan antara yang benar dan yang salah. Antara hakikat dan setan. Seperti agama, ia akan selalu didesak agar menjadi terkucil dalam arus industrialisasi.
PELOPOR TEMATIK-TEMATIK SASTRA BARU
Menurut Aguk Irawan, seorang mahasiswa penulis sastra yang dalam obrolan kemarin menjadi pendamping Cak Nun, mahasiswa Indonesia di Kairo kurang mendapatkan kesempatan dalam mengapresiasikan minatnya ini di tingkat nasional. Di Indonesia sendiri, yang selalu muncul mengisi koran-koran dan majalah selalu saja pemain lama. Padahal menurutnya, kemampuan dan perhatian mereka terhadap sastra layak ditampilkan juga. Dalam perkembangannya, saat ini banyak sekali karya-karya sastra yang dicetak secara pribadi (indie) beredar di Kairo. Baik berupa buletin, kumpulan cerpen atau pun puisi. Beberapa penulis -seperti Aguk sendiri-, bahkan sempat malang melintang membuka link ke Indonesia dengan cara mengirimkan dan menerbitkan karyanya di sana. Beberapa dimuat di koran-koran nasional dan beberapa menjadi buku. Aguk sendiri pernah menerbitkan buletin Kinanah di bawah LKiS Jogja. Namun lemahnya apresiasi masyarakat karena selalu memandang terlebih dahulu nama penulis, menjadikan karya-karya mereka terkubur. Kinanah gulung tikar, buku-buku mereka tak bisa meledak.
Menurut Cak Nun, saat ini memang ada kecenderungan pergeseran minat masyarakat terhadap karya sastra. Yang cukup aneh, ada karya-karya penulis muda yang tidak mempunyai background sastra, mampu meledak dan dianggap salah satu karya sastra dengan mutu tinggi. Kasus Supernova-ny Dewi Lestari juga disinggung dalam hal ini.
Cak Nun mengakui semasa orde baru dunia kesusasteraan Indonesia merosot tajam. Ada pengkebirian besar-besaran. Tidak ada karya besar yang tampil ke permukaan. Sebab itu pulalah yang membuatnya uzlah dari kegiatan sastra. Agar sastranya tak pernah mati, Cak Nun membawakannya dengan caranya sendiri yang independen, tak mempunyai keterkaitan dengan institusi apapun. Salah satunya barangkali yang bisa kita lihat melalui proyek Kiyai Kanjeng. "Siapa bilang sastra saya hilang. Saya selalu membawa sastra saya ke mana-mana," tangkisnya ketika dituduh peserta telah kalah dalam memperjuangkan sastra. Seharusnya, pada masa orde baru lahir karya-karya yang mampu mencerminkan zamannya sendiri sehingga mampu membedakannya dari angkatan-angkatan sebelumnya. Tema-tema yang bisa diangkat tak pernah habis, bahkan selalu saja muncul. Dia mencontohkan kasus Marsinah yang tak pernah mampu dilegendakan dalam sebuah karya sastra yang menggoncangkan.
Dalam kaitannya dengan kesempatan terhadap Mahasiswa Indonesia di Kairo, Cak Nun memberikan apresiasi yang cukup positif. Saat ini memang sedang dinantikan kebangkitan institusi sastra Indonesia. Untuk proyek ini, dukungan dari para pelaku sastra sangat diperlukan. Di Indonesia sampai kini baru ada satu institusi sastra yang terbilang kuat, yaitu Horison. Namun untuk pembangunan ke depan, beberapa tokoh sastra nasional saat ini tengah mempersiapkan langkah pendirian institusi yang kuat. Salah seorang dari mereka Taufik Ismail. Dari sini Cak Nun sangat berharap akan lahir tematik-tematik kesusasteraan yang sama sekali baru, yang mampu meneriakkan suara zamannya. "Mahasiswa di sini (Kairo) harus mampu jadi pelopor lahirnya tema-tema baru itu. Anda mempunyai kemampuan untuk menulis tentang Irak, misalnya, yang akan kesulitan ditulis oleh penulis-penulis kita di Indoensia," tambahnya
Republika, Minggu, 10 Oktober
Fenomena terakhir, setelah dunia sastra kita dipenuhi dengan maraknya tren sastra Islami (akrab disebut syi'ar Islami), yang memilik genre sastra tersendiri. Secara mengejutkan tiba-tiba saja sastra berbau seks begitu melimpah dan menghampar persis di depan wajah kita. Bahkan kehadirannya seakan telah berani menantang model sastra sebelumnya yang dengan sembunyi-sembunyi bagaimana ia harus mengungkapkan bahasa kelamin yang tabu itu.
Tentu saja keberanian menyusupkan adegan-adegan seks secara liar dalam karya sastra, kiranya patut mendapatkan respon yang serius. Kalau tidak mau kita dikatakan 'membiarkan' proses pembusukan budaya. Terlebih penulis sastra seks kebanyakan muncul dari kalangan perempuan.
Menghasilkan karya sastra seks liar, berarti menyaksikan diri kita sendiri bermain di dalamnya. Inilah teori kebudayaan. Sebab sastra merupakan tanggapan evaluatif terhadap kehidupan; sebagai semacam cermin yang memantulkan kehidupan kita sehari-hari. dan seks adalah bagian yang sangat indah dari manusia, karena menyangkut penyatuan jiwa.
Seks yang selama ini tabu (kecuali jika dibahas secara ilmiah, seperti ulasan dr Boyke) dan hanya bermukim di wilayah ranjang mengemuka dalam bentuk buku sastra dan menjadi perdebatan pelik di masyarakat. Pergunjingan pun bukan hanya soal 'etis' tidaknya membincangkan seks di depan umum tapi bergeser ke arah pelanggaran asusila di masyarakat. Agakanya ketika kita persoalkan, siapa penyulut sastra tabu itu? Maka sepintas yang terbesit dalam hati kita; siapalagi kalau bukan Ayu Utami, meski barangkali sebelumnya sudah diperkenalkan oleh Oka Rusmini.
Kemudian jejak tabu itu dikuti Djenar Mahesa Ayu, Clara Ng, Dinar Rahayu lalu Nova Riyanti dan Herlinatiens. Dalam sebuah wawancara, pemenang sayembara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta 2004, Dewi Sartika pun menuturkan secara terus terang telah terpikat dengan gaya penulisan Ayu Utami. Barangkali kelahiran sastra tersebut dilatari dengan kilah dan dalil "bukan hanya laki-laki saja yang berani bicara soal seks" dan kenyataanya kini penulis perempuan justru lebih berani tanpa harus risih dan malu lagi.
Belakangan, gairah perempuan penulis sastra adalah fakta yang tak bisa ditolak. Dengan memunculkan karya sastra seks, sebagai upaya perjuangan sastra perempuan yang selama ini terpinggirkan, yang kehadirannya ingin mencerminkan sikap sebagai sastra pemberontak sebagai wujud pembebasan sastra, perempuan ingin unjuk gigi bahwa mereka juga merupakan bagian sah, yang tak bisa diremehkan dalam khazanah sastra dan kebudayaan. Ternyata upaya pembebasan ini justru memperpuruk moral dan menenggelamkan budaya Timur kita yang santun dan bermartabat tinggi, dan tentu saja mengakibatkan pembusukan budaya.
Tidak bisa disangkal, bahwa ketika mempersoalkan kerusakan moral dan budaya, banyak sekali variabel yang berkaitan. Dan media massa jelas menjadi aktor utama dalam hal ini. Buku sebagai bagian dari media massa jika terus menurus memunculkan karya sastra yang telanjang dan fulgar, jelas berpengaruh meliarkan syahwat masyarakat dan tentu saja ini berdampak negatif, karena keterkaitannya dengan rekayasa sosial.
Dengan demikian masyarakat yang masih menganut budaya Timur yang santun dan bermartabat tinggi dibuat penasaran dan rapuh oleh karya-karya telanjang yang menggelikan itu. Stigmatisasi masyarakat yang selama ini masih memegang kuat aturan normatifitas, bergeser menuju arah kebebasan tanpa terkendali dan keterbukaan yang sebebas-bebasnya.
Itulah potret masyarakat kita, ketika karya-karya yang berkisar di wilayah pusaran seks begitu deras, masyarakat pun ternyata sangat antusias dan responsif terhadap fenomena ini, terlebih ketika tema seksualitas mendominasi segala ruang gerak-gerik kita.
Keberanian memunculkan adegan-adegan seks, yang ingin menjadikan sastra sebagai wahana pembebasan, tapi yang terjadi malah sebaliknya, menjadikan sastra perempuan sangatlah rendah nilai estetikanya, jumud, elitis dan eksklusif. Semangat pembebasan karya sastra yang diharapkan, tapi justru membenamkan mereka dalam kubangan wilayah selangkangan yang menjemukan. Seakan, tak ada tema lain yang layak dan lebih berharga untuk terus digali dan dikembangkan sebagai pencerahan kebudayaan demi keberlangsungan hidup kita yang lebih ramah dan santun.
Sejarah sastra dunia telah mencatat bahwa penulis-penulis sastra besar seperti Dante di Italia, Shakespeare di Inggris, Cervantes di Spanyol, Goethe dan Schiller di Jerman, Balzac di Prancis, Dostowjeski dan Tolstoi di Rusia, Pablo Neruda dan Allende dari Chile di Chile, Marquez di Kolombia, Paulo Coelho di Brasil, Muhamad Iqbal di Pakistan, Mutanabi di Mesir, Kahlil Gibran di Libanon, dan sebagainya, telah berhasil menjadikan individu-individu yang memberikan dirinya sebagai garda depan identitas bangsanya karena persentuhan-persentuhan yang secara frekuentif dilakukan secara terus-menerus dalam berbagai jaringan peristiwa yang mampu menembus kepentingan agama, politik, ekonomi dan budaya sebagai tujuan tunggal kemanusian dengan ciri menampakkan kepribadiannya yang bermoral dan etika yang 'bersih' dari bangsanya. Dan tentu karya-karya yang berharga tersebut 'sepi' dari urusan 'rendahan' seputar selangkangan.
Bahkan, sastra Jahiliyah yang ditulis ribuan tahun yang lalu, oleh penyair seperti Imru Al-Qays, Amru bin Kultsum, Al-Harits, Hatim Al-Tha'i, Qays bin Mulawwih, Labid bin Rabi'ah, Tharfa bin 'Abd, dan Zuhair bin Salma, jauh dari permasalahan selangkangan. Padahal tradisi sosial lingkungan sangat memungkinkan untuk itu. Kalaupun ada sebagaimana yang ditulis Amru bin Kultsum di 'Mualaqat' tentu pilihan bahasanya begitu 'halus' dan selalu dikaitkan dengan pesona alam, pengalaman itulah yang masuk ke dalam keindahan yang disalurkan lewat bahasa.
Itu tidak sebagaimana Djaenar Maesa Ayu dengan cerpen ''memek''-nya. Sehingga karya sastra demikian menurut Thaha Husan dalam bukunya Fi Syiir Al Jahily sedikitpun tak mengganggu kekuatan estetika. Bahkan lebih jauh Penyair Syauqi Dlaif dalam muqaddimah buku Al Asar Al Jahily mengatakan bahwa karya sastra Jahily telah mampu menembus kegelapan zamannya dan melampaui peradabannya yang busuk.
Ia justru bisa sebagai kontrol terhadap nilai-nilai, dan kaidah-kaidah yang sedang berlaku dalam masyarakat yang demikian telah rusak. Dan kehadiran sastra pada zaman zahily adalah usaha untuk menciptakan kembali dunia sosial itu: hubungan-hubungan keluarga, suku, ras, politik, agama, dan sebagainya. Ia juga menggarisbawahi peranannya dalam keluarga dan lembaga-lembaga lain, berusaha mencairkan konflik dan ketegangan antarkelompok dan antargolongan
Tetapi apa yang sedang berlangsung dengan satra kita, dan masyarakat kita? Sekalipun dianggap 'jorok' dan tabu dalam sajian bahasanya, ternyata buku yang mengusung realitas seks sebagai bahan eksploitasi ini mampu membius pembaca masyarakat kita dengan gegap gempita dengan tujuan untuk membuat heboh masyarakat atau alasan logis lainnya: komersialisasi.
Dengan demikian, maka jangan berharap seksualitas fiksi perempuan memiliki peluang untuk hadir sebagai karya sastra besar (magnum opus) yang tak lekang dimakan zaman. Tren ini hanyalah sastra populer yang menggebrak jagat sastra kita yang sejenak memang membeku. Maka untuk apa diapresiasi lebih lanjut lagi? Apalagi untuk dibanggakan.Kairo, 27 Juli 2004
(Aguk Irawan Mn)
© 2005 Hak Cipta oleh Republika Online Dilarang menyalin atau mengutip seluruh atau sebagian isi berita tanpa ijin tertulis dari Republika Kirim Artikel Koran Kontak Webmaster
Republika, Minggu, 16 Mei 2004
Dalam literatur sejarah Arab ada satu zaman yang paling busuk. Saat itu hukum rimba telah menjadi merk kehidupan masyarakat. Orang kaya menindas orang miskin; penguasa bertindak semena-mena; yang kuat mempermainkan yang lemah; dan kaum wanita diperlakukan hanya sebagai pemuas hawa nafsu seksual kaum laki-laki belaka. Bahkan pemberian Tuhan akal yang paling berharga, hampir tak diberi hak untuk berpikir. Jazirah Arab pada saat itu memang dalam puncak kegelapan dan kerendahan moral.
Sayyid Qutub di dalam bukunya Ma'alim fit Thariq melukiskan zaman yang paling getir itu, bahwa kedzaliman menjadi suatu keharusan. Kebodohan dan kesombongan sebagai simbol kebesaran. Minuman yang memabukkan, bukan hanya kebiasaan, melainkan alat menuju kebahagiaan. Perjudian merupakan salah satu kebanggaan dan pekerjaan yang bergengsi dalam kehidupan. Tidak turut dalam perjudian akan dipandang hina, yang menjatuhkan martabat dan harga diri seseorang. Sedemikian gemarnya mereka berjudi sehingga istri sendiri pun dijadikan taruhan. Kehidupan mental-spiritual masyarakat Arab pada saat itu memang menunjukkan kebodohan yang paling tolol. Berhala atau patung ciptaan sendiri dipujanya tak henti sebagai Tuhan, sore, siang, malam dan pagi. Inilah masyarakat jahiliyah, yaitu masyarakat yang diliputi kebodohan dan kejahilan. Masa jahiliyah juga masa di mana egoisme suku, monopoli gender,
eksploitasi sosial, otoritas kelompok, terus terpupuk dalam interaksi sosialnya.
Namun di balik kebodohan yang paling tolol. Dalam tradisi masyarakat jahily ada yang paling pintar, bahkan kepintarannya belum dimiliki oleh kebudayaan umat dan bangsa manapun saat itu. Kepintaran ini telah masuk ke segala lini struktur kehidupan. Kepintaran itu adalah dalam hal mencipta karya sastra. Para pengamat sejarah sastra klasik tak ada sedikitpun yang ragu, bahwa tokoh-tokoh penyair jahily seperti Imru al-Qays, Ka'ab ibnu Zuahair, Amru bin Kultsum, al-Harits, Hatim al-Tha'i, Qays bin Mulawwih, Labid bin Rabi'ah, Tharfa bin 'Abd, Zuhair bin Salma, adalah para penyair ulung sebelum lahirnya peradaban dunia. Karya-karya mereka digantung di dinding Ka'bah sebagai simbol kebesaran dan kebanggaan suku dan ras yang mengalir pada darahnya.
Namun, keberadaan sastra itu ada yang ganjil, ia tidak muncul dan berperan sebagai kebudayaan, dan bisa menunjukkan kepribadian Arab, bahwa ia mempunyai peradaban yang tinggi, tidak! Namun sebaliknya sastra diperankan sebagai alat pemuas hawa nafsu. Penyedap minuman keras dan penambah gairah seks malam. Lantunan syair yang indah itu selalu mengiringi di meja-meja syahwat dan tarian perempuan telanjang yang menggelikan. Bahkan sastra telah dikomersialkan di pasar-pasar rombengan. Melalui syair pujian-pujian yang dipersembahkan penyair untuk konglemerat dan penguasa suku yang melintas di jalan.
Pada denyut zaman yang buram seperti itulah seorang bayi pada tanggal 12 Rabi'ul awwal atau 21 April 571 Masehi keluar dari rahim Siti Aminah. Ia bernama Muhammad. Tahun kelahiran ini, oleh bangsa Arab, disebut "tahun gajah", sebab kala itu serdadu-serdadu Abrahah yang berkendaraan gajah dari Yaman dengan gegap gempita menyerbu kota Makkah untuk menghanguskan Ka'bah. Namun ada suatu keajaiban yang luar biasa nampak dengan tiba-tiba dari pemandangan langit, segerombolan burung Ababil terbang dengan gemetar membawa beribu-ribu batu dan kerikil panas, lantas dengan kepak sayapnya ia melempar tajam dari berbagai penjuru ke arah serdadu-serdau itu, dan akhirnya serdadu-serdadu berpasukan gajah itu lari tunggang langgang. Keajaiban ini di luar strategi Abrahah untuk menghancurkan Ka'bah.
Muhammad lahir dan menjadi Rasul, ia tidak sendiri, tapi ia bersama Alquran sebagai mukjizatnya, yang ketika ada tidak saja sebagai pesaing sastra jahily yang ulung, tapi juga menunjukkan arah kepada kebangkitan kebudayaan Arab dan meletakkan dasar kebudayaan yang melahirkan peradaban Islam di kemudian hari. Syauqi Dloif, di dalam bukunya Tarikh Al-Adab Al-Araby fi Al-'Ashri Al-Jahily berpendapat bahwa Nabi Muhammad telah membawa pengetahuan sastra dan peran sastra yang sesungguhnya, dan dari sanalah kebudayaan Arab akan terlahirkan. Karena kehadiran Muhammad, syi'ir al-ashru al-jahily (sastra masa jahiliyah), bisa menuju asru sodri al-Islam (masa pembentukan Islam), kemudian mengilhami kejayaan sastra asru bani umayyah (masa bani umayyah), asru al-abbasy (masa abasiyah), asru al-mamalik (masa mamalik), serta asru al-haditsy wa an-nahdhoh (masa modern dan kebangkitan Islam).
Muhammad dengan Alquran telah meruntuhkan tema serta struktur yang ada dalam sastra Arab jahiliyah. Kemudian dengan kekuatan keindahan bahasa yang tak tertandingi itu, telah menunjukkan gambaran dan memberikan kekuatan bahwa Alquran memiliki sosiologi bahasa yang sebagian besar belum tersentuh oleh tema-tema penggunaan bahasa pada masa jahiliyah. Keadaan ini menjadi gejala positif terhadap revolusi bahasa arab yang sebelumnya kurang tersentuh dalam beberapa tema yang memberikan identitas moral budaya dan bahasa serta penggunaan struktur kebahasaan arab. Sastra memang seperti lahir kembali bersama lahirnya Muhammad, sebab setelah sekian lama sastra telah diperlakukan sebagai alat penyedap hawa nafsu belaka, telah berubah menjadi sesuatu yang terkait dengan etika dan semangat perjuangan. Hal demikian terbukti pada karya Hasan bin Tsabit yang selalu mengiringi spirit juang melawan kaum kafir, serta karya Zuhair bin Salma yang bisa memberi obat penentram dan berbuat sabar dalam menegakkan risalah Tuhan bersama Nabi. Sehingga aliran sastra yang berkembang telah berani mendobrak kemacetan budaya yang gelap.
Muhammad membangun kehidupan baru di atas puing kemanusiaan yang sudah hancur, porak poranda dan berkeping. Manusia tak bertuhan menjadi beriman; yang tak berakal menjadi berpikir; yang sombong dan angkuh menjadi tahu diri serta sadar. Yang kuat menjadi penyantun. Kemanusiaan yang telah mati menjadi hidup kembali, bahkan dapat memberikan sinar terang kepada dunia. Pola hidup, yang meraba-raba dalam gelap memperoleh cahaya yang memandu umat kepada jalan yang lurus. Ia pembawa obor yang memberikan sinar terang. Singkatnya ia berhasil mencerahkan kebudayaan Arab yang buta, sekaligus menyegarkan kembali sisa-sisa kemanusiaan yang sudah layu dan memberinya roh baru, sehingga menyalalah kembali api yang telah padam. Maka tak mengherankan bila Michael H. Hart kemudian memilih Muhammad (570 SM - 632 SM) sebagai tokoh pertama yang paling berpengaruh sepanjang sejarah peradaban.
Terbangnya burung Ababil dan lahirnya Muhammad, mungkin suatu pertanda suara Tuhan. Bahwa kegelapan di muka bumi yang sungguh terlalu, akan tercerahkan. Muhammad, dialah yang kemudian Tuhan pilih sebagai seorang Rasul, pembawa risalahNya, kepadanya Tuhan turunkan Alquran sebagai petunjuk jalan kehidupan. Sejak itu muncul sebuah zaman baru yang sangat mengagumkan bagi bangkitnya kebudayaan. Manusia yang benar-benar manusia, tunduk kepada Tuhan penciptanya dan pencipta segala makhluk. Keadilan benar-benar ditegakkan, dan kedzaliman dihancurkan. Wanita dihargai kemanusiannya, minuman keras tak lagi diperbolehkan, kerena merusak akal dan kejahiliahan diperangi dan dimusnahkan.
Kemudian setelah kelahiran itu, jutaan bibir setiap hari mulai merayap mengucapkannya, jutaan jantung setiap saat berdebar dan berdenyut memantulkan namanya. Bibir dan jantung yang bergerak dan berdenyut sejak seribu empat ratus limapuluh tahun. Dengan nama yang begitu mulia, berjuta bibir akan terus mengucapkan, berjuta jantung akan terus berdenyut, sampai
akhir zaman.
Kairo, 12 rabiul Awal 1425
(Aguk Irawan MN)
© 2005 Hak Cipta oleh Republika Online Dilarang menyalin atau mengutip seluruh atau sebagian isi berita tanpa ijin tertulis dari Republika Kirim Artikel Koran Kontak Webmaster Budaya
Minggu, 21 Desember Pada Republika Ahad, 23 November 2003, Aguk Irawan MN menulis artikel berjudul Merumuskan Kembali Konsep Sastra Islami. Beberapa hari sebelumnya, di sebuah mailing list, saya sempat membaca artikel yang isinya sama, tapi judulnya Tidak Ada Sastra Islami.
Dalam tulisannya itu Aguk sama sekali tidak tidak merumuskan kembali konsep sastra Islami, melainkan mendekontruksi (tanpa mencoba merekonstruksi) sekaligus menolak Sastra Islami. Bagi Aguk, sastra Islami adalah sebuah pembatasan.
Aguk menulis, "Namun saya akan mencoba menggali berbagai kekuatan ekspresi sastra yang pada gilirannya disepakati sebagai sebuah produk proses demi mempresentasikan identitas agama atau politik, dalam presentasi estetik yang lebih bermutu dan sekaligus meluruskan agar sastra punya nilai uji dan usia yang lama. Jika sastra dipagari, ia bakal kempis ditiup zaman dalam lingkup negara bangsa yang sudah mengalami deterirorialisasi dalam pengertian reduksi ruang dan waktu."
Bagi Aguk, "membebaskan fungsi sastra dari pemahaman formal sastra Islami berarti melepaskan kungkungan dalam sebuah bangunan struktur yang merujuk pada penafsiran tunggal dengan pagar agama. Bagaimanapun, sastra itu bermain dalam wilayah estetika, bukan dalam wilayah teologi."
Begitulah. Aguk hendak membebaskan sastra --demikian pikirannya saya simpul dan sederhanakan-- dari unsur agama dan politik. Sastra yang bagus, bagi Aguk adalah sastra untuk sastra, lart por lart, sastra murni. Baginya, Sastra Islami adalah penjara bagi dunia sastra, dan wajib "dibunuh". Dengan kata lain, salah satu usaha membebaskan karya sastra adalah dengan membunuh genre sastra Islami, sastra dakwah atau apapun di luar "sastra pada dirinya sendiri".
Dalam paragraph-paragraf pertama disebutkan sejarah sastra di Indonesia, yaitu era Lekra yang menganut realisme sosialis melawan kaum Manifes Kebudayaan (manifestan) yang menganut faham humanisme universal. Kata Aguk, kaum manifestan adalah penganut prinsip humanisme universal dan bermoto lart pour lart, seni untuk seni.
Tampaknya, Aguk berpihak pada kaum manifestan ini. Tetapi di sini ada kejanggalan besar. Benarkah kaum manifes dan simpatisannya penganut seni untuk seni? Apakah Sori Siregar, Arif Budiman, Gunawan Muhammad, dan lainnya hanya berkarya untuk sastra pada dirinya sendiri? Saya pikir tidak. Mungkin ada penulis atau sastrawan di Indonesia yang menganut sastra murni seperti itu, tetapi yang jelas kaum manifes --yang saya baca karyanya dan saya tengok kepribadiannya-- tidak seperti itu. Mereka menulis untuk sesuatu, untuk sebuah tujuan. Kaum manifes yang saya pahami menulis untuk kemanusiaan. Tujuannya jelas, tidak sekadar eksperimental yang personal atau akrobat keahlian menulis semata.
Saya kira, seorang manusia menulis karena tujuan dan kepentingan tertentu, apa pun tujuannya itu. Apakah karena kegelisahan jiwanya, karena ingin memberitahukan sebuah informasi kepada pembaca, ingin mencurahkan perasaannya, atau bahkan sekadar mencari uang. Yang jelas, pasti ada tujuannya.
Sewaktu kuliah S1 (Sastra Arab UI), sekitar 8 tahun yang lalu, saya diajarkan bahwa salah satu fungsi karya sastra adalah menghibur dan mendidik. Karya sastra juga berfungsi sebagai pembersihan jiwa (katarsis). Dalam kajian intrinsik, ada unsur yang bernama amanat atau pesan moral. Dalam terminologi Islam, sebuah ajakan, penyebaran ide, dan yang sebangsa dengan itu diistilahkan dengan dakwah. Dan saya kira, semua genre dan aliran sastra melakukan dakwah dengan cara dan ideologinya masing-masing, dengan berbagai cara, dari yang paling kasar (ideologis, propaganda) hingga halus (estetis).
Jadi, saya kira, seseorang menulis karena ada tujuannya. Sastra Islami, sastra dakwah, atau apapun namanya, hanyalah salah satu genre saja. Demikian pula dengan seni untuk seni yang bersifat eksperimental dan personal, hanyalah salah satu cabang saja. Sastra murni bukan satu-satunya pilihan, kecuali kalau mau menjadikannya sebagai panglima.
Aguk menulis, "Dengan gerakan seperti itu, tentu saja tidak setiap penulis pemula merasa nyaman berada di sana, dan bagi yang tidak setuju dengan gerakan sastra Islami itu, mungkin mengajukan sebuah soal: Kenapa sastra harus diberi baju Islam? Bukankah dengan demikian justru membatasi ruang dan gerak sastra itu sendiri? Bagaimanapun, urusan yang terpenting dalam sastra adalah permainan estetikanya, lantas tidakkah mengganggu agama dimasukkan ke dalamnya sebagai ideologi sastra?"
Saya kira tergantung pada individu masing-masing. Ada penulis yang terbebani, tetapi ada juga yang tidak. Ada yang malah berat ke dakwahnya alias lebih mirip ceramah. Ada yang menjurus ke 'Lekra Islami' --agama sebagai panglima yang mengenyampingkan estetika alias nilai kesusastraannya. Tapi tidak berarti dominan. Ada tapi tidak semua. Saya kira tak usahlah kita generalisasi bahwa semua karya yang bernuansa agama atau dakwah akan mengganggu estetika, bahwa agama dan sastra haruslah terpisah sama sekali. Siapa yang bisa mengingkari nilai sastra dari Muhamamad Iqbal, misalnya?
Lantas saudara Aguk menyatakan bahwa Iqbal menulis sebuah karya tanpa kaitannya dengan agama dan politik. Wah, jangan-jangan penafsiran saya terhadap Iqbal yang salah. Iqbal yang ketua Liga Muslim yang turut membentuk negara Islam Pakistan dan berpisah dari India itu? Iqbal yang menulis antologi Pesan-Pesan dari Timur itu? Saya kira tidak benar kalau semua sastra yang hendak memuat sesuatu yang Islami adalah sebuah pembatasan atau pemagaran.
Ada memang, tetapi tidak semua.
Saya kira, justru ketika Aguk menyatakan bahwa semua karya sastra haruslah seni untuk seni, berarti sebuah pemagaran. Jika semua karya sastra haruslah seragam dengan satu genre saja, berarti itu adalah pembatasan. Jikalau sastra haruslah dibebaskan dengan cara membunuh genre sastra dakwah atau sastra Islami, itu adalah sebuah pemenjaraan. Jangalah genre sastra yang satu dibebaskan dengan cara mencekal genre sastra yang lainnya. Biarkanlah semua genre sastra tumbuh dan berkembang. Biarlah nanti sejarah --dan pasar-- yang menentukan.
Memang banyak dari genre sastra dakwah yang harus dibenahi di sana-sini, tetapi upaya pembunuhan terhadap genre itu bukanlah cara yang baik dan cerdas. Karena, bagi saya, genre sastra dakwah, adalah juga bagian dari sastra yang punya hak hidup dan juga merupakan asset bangsa.
Terakhir, Aguk membedakan antara sastra dakwah dengan sastra sufi. Tulisnya, "Jadi, terminologi sastra Islam hanya berlaku dan cocok pada isi sastra yang bersifat religius sebagai makna (seperti puisi-puisi sufi). Sekali lagi bukan sebagai cara berdakwah atau alternatif dakwah."
Mungkin yang dimaksud adalah menolak semangat propagandis dan ideologis, dan menekankan pada semangat estetis. Aguk takut jika sastra dipenuhi dengan simbol kebendaan seperti kopiah dan ucapan-ucapan seperti "assalamu'alaikum" dan "astaghfirullah". Aguk ingin agar substansi yang terpancar, dan bukan kulit luar. Ini saya setuju. Tetapi bila lantas digeneralisasikan bahwa semua sastra dakwah pastilah "kulit luar yang kering estetika" dan sastra sufi adalah kental dengan substansi yang estetis, tidak benar.
Bila, ternyata ada karya Islami yang berdakwah dan tidak terjebak dengan upaya propaganda yang kasar dan kering estetika, dan menekankan substasi di atas simbol-simbol kulit luar, bagaimana? Apakah tidak melihat kemungkinan seperti itu? Kalau dengan agama, sebuah karya sastra tidak terjebak atau terkungkung, malah bebas lepas bagaimana? Sebab, saya piker, orang menulis dengan dasar lingkaran social, budaya,dan sejarah yang ada di sekitarnya. Kalau sang penulis kental dengan lingkup social, budaya, dan sejarah yang bernuansa Islami, tentulah karyanya tidak jauh dari kesehariannya.
Saya cenderung kepada konsep sastra profetik dari Kuntowijoyo. Kunto pernah menulis, seorang Muslim yang baik adalah yang bisa menginternalisasi nilai-nilai keislaman ke dalam dirinya. Dengan begitu, setiap ucapan dan tindakannya --termasuk tulisannya-- yang keluar adalah yang Islami, baik dengan simbol-simbol keagamaan yang nyata maupun hanya substansinya. Karena, seorang Muslim yang baik pastinya ingin segala kesehariannya sedekat mungkin dengan kemauan Tuhannya.
Jadi, kalau ada sesuatu yang kurang benar, jangan dibunuh, tapi ditolong, dibantu, dengan cara memberikan kritikan yang membangun dan masukan yang benar, sambil terus memberikannya hak hidup. Biarlah bunga sastra Islami tetap ada di taman sastra Indonesia. Tinggal bagaimana kita mengingatkan sang empunya untuk terus menyiraminya dengan air, memberinya pupuk, dan merawatnya dengan telaten, agar sang bunga bisa cepat merekah dan publik bisa memetiknya dengan senang hati.
Ekky Malaky Alumnus Pasca-Sarjana Ilmu Filsafat Fak Ilmu Pengetahuan Budaya UI(Ekky Malaky)
© 2005 Hak Cipta oleh Republika Online Dilarang menyalin atau mengutip seluruh atau sebagian isi berita tanpa ijin tertulis dari Republika Kirim Artikel Koran Kontak Webmaster
Catatan buat Ikranagara.
Bung Ikra yang saya Hormati.
Bertanya pada ahli? Saya kira memang "solusi" yang benar, agar kita bisa menarik kesimpulan secara proposional. Tetapi pertanyaan saya adalah, siapa yang ahli dalam sejarah Kebudayaan kita, dan siapa yang bukan ahli? pertanyaan ini entah kenapa dalam benak saya menjadi seperti "misterius".
Apa penyebabnya? Tak lain dan tak bukan, karena saya meresa bahwa selama ini- pada mereka yang disebut (ahli) sejarawan Indonesia itu-- sejarah hanya ada dalam sebuah interpretasi tunggal. Yaitu dari mereka yang bersama Orde Baru keluar sebagai pemenang. Kemudian selanjutnya adalah segala informasi, interpretasi dan pendapat dari pihak yang kalah jadi tertutup. Sejarah ditulis oleh para pemenangnya. Inilah yang membuat saya selalu bertanya, oleh karenanya mungkin saya tidak terlalu salah, seandainya lantas saya bertanya pada bung? Tak lain, karena saya menganggap bung adalah bagian dari sejarah Kebudayaan Indonesia itu (sekaligus pelaku sejarah), dan pernah hidup di zamannnya, meskipun tidak secara keseluran barangkali.
Saya menengahkan pertanyaan, buku Joebaar Ajoeb (1990), "Mocopat Kebudayaan Indonesia", yang hilang itu? Saya kira pertanyaan ini tidak harus dijawab dengan secara pragmatis, yang jawabannyua kemudian kembali pada kewajiban kita untuk mencari. Namun pertanyaan ini lebih sebagai pengkuat hepotisa saya, bahwa sesungguhnya benar, bahwa sejarah kita selama ini adalah hanya interpertasi tunggal, dan secara umum, sejarah Indonesia pada periode 1950-1965, penuh dengan kontroversi. Ada garis tunggal yang selama 32 tahun dipaksakan oleh Orde Baru.
Bahan-bahan sejarah pada periode 1960-an terutama terbitan kelompok kiri, yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta, membutuhkan ijin khusus dari aparat keamanan untuk mengaksesnya. Hasil penelitian dan buku dari sarjana-sarjana ahli Indonesia di luar negeri tentang periode ini banyak yang dilarang. Karya-karya mereka yang dianggap terlibat dalam peristiwa 1965 juga dilarang. Lebih detil tentang hal ini lihat: Tim Jaringan Kerja Budaya, 1999, Menentang Peradaban: Pelarangan Buku di Indonesia, Jakarta, Jaringan Kerja Budaya dan Elsam.
Bukti lain, di awal-awal Orde Baru, para penandatangan Manikebu sangat rajin mempublikasikan berbagai tulisan untuk menjelaskan duduk perkara kelahiran Manikebu sampai pelarangannya. Tentu saja dari sudut pandang mereka dengan memposisikan Lekra sebagai bagian dari PKI yang memberontak pada 30 September 1965. Lihat misalnya surat Bokor Hutasuhut pada Kol. Drs. Suhardiman sebagai pemimpin redaksi Ampera yang meminta agar memuat tulisannya tentang Manikebu: "Kebudayaan Perjoangan" . Atau tulisan-tlisan Wiratmo Soekito setelah tahun 1966: "Kostradnya Kebudayaan", Merdeka 23-10-1966; "Sudah Tiba Saatnya Membangkitkan Seni Murni", Merdeka, 27-11-1966; "Politik Orang Tidak Berpolitik", Harian Kami, 1-5-1968; "Dwifungsi Kulturil Kita", Harian Kami, 8-5-1968, "Proses Pembebasan Manifes Kebudayaan 1964-1966", Sinar Harapan, 1970. Tulisan Goenawan Mohamad dalam sisipan Tempo 21 Mei 1988: "Peristiwa 'Manikebu': Kesusateraan Indonesia dan Politik di tahun 1960-an. Juga tak kalah tegasnya yang dinyatakan dalam: Ismail, Taufik/DS Moeljanto, 1995, Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk., Jakarta, HU Republika dan Mizan. Dengan meruntut pada satu gelombang perdebatan saja.
Bukankah hal tersebut cukup sebagai bukuti. Di mana sejarah Kebudsyaan kita adalah sebuah interpretasi tunggal, yang datang dari satu arah saja. Karena penjelasan yang ada tentangnya hanya datang dari satu sisi, yaitu dari mereka yang bersama Orde Baru keluar sebagai pemenang. Dan konsekwensi "getir" selanjutnya adalah segala informasi, interpretasi dan pendapat dari pihak yang kalah jadi tertutup. Sejarah ditulis oleh para pemenangnya. Kemudian pada gilirannya, bahwa benar bahwa sejarah yang telah ditulis di zaman Orde Baru adalah sejarah semu, yang tak jauh terpaut dengan kepentingan politik, bukan pernyataan (sejarah) ilmiah. Apalagi hadir sebagai sejarah yang "benar" dan fair. Sebab alasan saya simpel, bahwa penyelidikan ilmiah tentang G30S/PKI itu. Hingga sampai sekarang masih dalam segumpal tekateki yang "buram" dan belum selesai dijawabnya?
Bung Ikra.
Terkadang saya "iri", melihat sejarah perkembangan Kebudayaan Mesir, jika harus dibandingankan dengan keadaan apa yang pernah terjadi di Negeri kita.
Hanya mencoba sebagai pembanding saja. Di Mesir yang sama satu kurun dengan Indonesia (1950-1965), Mesir juga mengalami persengketaan yang meluap dan tak kalah sengitnya. Permasalahannya juga tak jauh berbeda, yaitu dalam hal dan cita-cita ”mewujudkan kebudayaan baru” persoalan itu digiring melalui konsepsi ”bahasa dan sastra Arab”. Pelaku perdebatan adalah para eksponen modernisasi dan eksponen tradisionalisasi.Dalam perdebatan tersebut, dalam kubu modernitas adalah dengan nama-nama penting, diantaranya Thaha Husein (1889-1973), juga penyair terkenal seperti Syauqi Dhaif dan Suhair Al-Qalamawi muncul sebagai peenentang kelopok tradisionalisasi semisal oleh tokoh kebudayaan, Muhammad al-Khudar Husein, Musthafa Shidiq ar-Rafi’i, Muhammad Farid Wajdy, Rasyid Rida, Anwar Jundy dan Maryam Jamelah.
Apa yang membedakan polemik budaya di Mesir dengan Indonesia?Tentu tak lain, adalah hal penulisan sejarah. Mesir bisa menuliskan sejarah secara runtut dan benar, yang bisa disepakti oleh kedua belah pihak yang berseteru, dan sejarah ini bisa diwariskan pada generasi berikutnya. Sehingga tak heran, budayawan sekarang semisal Jabir Asfor, selalu hadir dan dibelakang nama Thaha Husain, juga tokoh semisal Muhammad Taymor hadir di belakang nama besar Muhammad al-Khudar Husein, hingga sampai sekarang berlanjut tanpa ada ketidak relaan, dari (dan) pembelaan politik serta merta seperti yang terjadi di Negeri kita.
Meskipun pada akhirnya kelompok Thaha Husain, yang kemudian dekat dengan Rezim, pada sejarah Kebudayaan Mesir, masih tercatat menjadi bintang gemerlap dalam perbincangan mengenai pembaruan bahasa dan sastra Arab. Sejak masa itu, muncul mazhab baru bahasa Arab, yang dirasakan sebagai pendorong dinamika dan perubahan sosial di Mesir.
Dan buku-buku sejarah itu setidaknya dapat ditelusuri dalam buku Anwar Jundy, Thaha Husayn, Hayatuhu wa fikruhu fi Mizan al-Islam dan Maryam Jamelah, Islam and Modernism atau pada as-Sira’ bayna al-Fikrah al-Islamiyah wa al-Fikrah al-Gharbiyah Fial-Aqtar al-Islamiyah karya Abu al-Hasan ‘Ali al-Husni an-Nadawi.
Kemudian apa yang bisa kita sedikit "petik" untuk pelajaran dari perbandingan itu, tentu tak lain, bangsa Indonesia mengalami kerugian besar akibat politik dehumanisasi yang melahirkan dan melanggengkan rejim Orde Baru. Kita bukan saja kehilangan sejumlah pekerja kebudayaan yang terbaik di zamannya, tapi juga dipisahkan dari suatu proses pencarian yang sudah berlangsung dan diperjuangkan begitu rupa oleh gerakan kebudayaan sejak awal abad yang lalu. Pencapaian-pencapaian yang seharusnya bisa memperkaya wawasan kita tentang kehidupan yang lebih baik bagi manusia disederhanakan dengan sekat-sekat kategoris yang tidak berkata apa-apa, atau malah dihilangkan sama sekali dari lembaran sejarah, (baca lebih lanjut: Lekra vs Manikebu: Mitos Pemenggal Sejarah, Tim Media Kerja Budaya). Karena setelah proyek kebudayaan nasional-popular dihancur-leburkan, proyek humanisme universal pun terlindas. Yang muncul berjaya adalah kebudayaan militer! Upacara dan baris-berbaris, indoktrinasi P4, penyeragaman kurikulum, asas tunggal dalam politik, pelarangan kegiatan kesenian hanyalah beberapa contoh dari kuatnya semangat militerisme dalam kebudayaan kita selama tiga dekade terakhir. Lebih dari itu, Indonesia sebagai negeri berpenduduk terbesar ke 4 di dunia, begitu miskin di bidang kebudayaan: jumlah penerbitan buku per tahun terendah di Asia, institusi pendidikan berubah menjadi pabrik pencetak buruh atau intelektual plagiator.
Maka pertanyaan penting yang saya ajukan adalah, kemana suara Taufik Ismail, dan Manifestan lain yang lantang itu, saat menyaksikan zaman begitu tak masuk akal? Bukankah ini cukup kuat jika saya mengatakan, mereka bungkam, karena ada di dalam dan terlibat langsung dengan Orde Baru.
Kairo, 22/6/05
Wassalam
Aguk Irawan MN
Saturday, February 21, 2004
Seni dan "Mass-Culture" (HU Pikran Rakyat)
(catatan Ikranagara)
PADA tahun 1960-an, bahkan sejak sebelum adanya kontroversi Kaum Manifestan dan Lekra, drama "Iblis" karya Mohamad Diponegoro laris dipentaskan di banyak tempat di negeri kita. Kisahnya adalah Iblis yang berusaha menggoda Nabi Ibrahim agar menolak perintah Tuhan yang didapatnya lewat mimpi. Berbagai godaan Iblis itu tidak mempan.
Siapakah seniman yang mementaskan drama "Iblis" ini? Tidak terbayangkan oleh saya bahwa ada seniman non-Muslim yang mau mementaskannya. Sama halnya dengan operetta "The Night Visitors" yang menggambarkan kelahiran Jesus yang mendapat kunjungan tiga raja yang mengikuti petunjuk bintang kejora di langit itu, tidak terbayang oleh saya grup teater yang mementasan "Iblis" itulah juga yang mementaskan operetta tentang kelahiran Jesus ini. Seniman teaternya masing-masing menggarap karya berbeda itu berdasarkan agama yang dianutnya, bukan?
Siapakah penonton "Iblis" dan "The Night Visiters" itu? Penonton "Iblis" tentulah masyarakat Islam, sedangkan penonton "The Night Visitors" adalah masyarakat Kristen. Setuju tidak setuju, di luar pembahasan naskahnya itu kayak apa mutunya ditinjau dari sudut estetika, toh masyarakat dan senimannya memang telah mematok adanya seni yang Islami dan seni yang Kristiani. Lagu-lagu Trio Bimbo, misalnya, diterima sebagai seni suara yang Islami, dan pada bulan Puasa ini, juga Lebaran nanti, lagu-lagu semacam ini laku keras, bukan?
Sama halnya di AS sekarang ini laku-laku pop bertema Kristiani, lengkap dengan vokabulari khas seperti Jesus, My Lord, Holly Spirits, Bethelhem, dan lain-lain, semua itu diusung dalam lirik-liriknya, dinyanyikan oleh generasi muda di AS yang taat kepada gereja, dan dipanggungkan secara komersial sambil dipublikasikan sebagai karya musik Kristiani.
Soal mutunya, karya-karya yang berorientasi kepada keyakinan agama itu, tergantung siapa yang melakukan penilaian. Kalau kita perhatikan peristiwa sosialnya, jelas yang melakukan penilaian itu adalah masyarakat pemeluknya, yang keyakinan agamanya sama dengan senimannya. Jadi, menurut saya, ini tergolong folk arts atau "seni masyarakat" atau "seni rakyat" yang tentu saja di dalam istilah ini maksudnya adalah "masyarakat/rakyat tertentu" atau "masyarakat/rakyat terbatas." Bagaimana caranya suatu masyarakat melakukan penilain mana karya seperti itu yang bisa diterima dan mana yang tidak? Untuk menjawab pertanyaan ini kita tidak bisa melakukannya dengan membuka buku-buku estetika yang obyektif ataupun mengandalkan kepada kritik subjektif kita. Yang melakukan penilaian itu adalah "masyarakat/rakyat terbatas" itulah, karena itu survei perlu dilakukan, kemudian kita bisa merumuskan ukuran apa yang mereka pakai itu--yang dominan tentu saja! Saya belum pernah melakukan survei semacam itu, juga belum pernah membaca hasil survei dilakukan di bidang itu. Saya hanya menduga bahwa ukuran penilaiannya adalah ajaran ideal agama masing-masing yang dijadikan pegangan oleh masyarakatnya, artinya, nilai dakwahnya, sebagai yang dominan, sedangkan nilai keindahannya dan lain-lain, itu bergantung kepada selera pasar di dalam "masarakat tertentu" pada masa tertentu pula.
Kesimpulan sementara saya, seni religius seperti itu adalah seni massa, termasuk ke dalam lingkup mass-culture. Di dalam mass-culture itu berlaku hukum pasar seperti sudah saya gambarkan tadi, yakni bergantung sepenuhnya pada hasil interaksi antara seniman pencipta dengan masyarakatnya.
Kita bandingkan dengan karya sastra berupa novel berjudul Dokter Zhivago. Saya harap sebagian besar dari kita sudah membaca karya Boris Pasternak Dokter Zhivago yang memenangkan Hadiah Nobel itu. Atau, menonton filmnya yang dibintangi oleh Omar Syarif itu. Karya sastra (bukan karya filmnya) ini sangat berpengaruh kepada diri saya, baik sebagai manusia maupun sebagai seniman. Tentu saja ada karya-karya sastra lain yang juga berpengaruh kepada saya, antara lain karya-karya sastra Kafka, selain juga karya sastra lama warisan kita "Pararaton" dan "Serat Centhini" yang kaya dengan magic realism itu.
Bagian awal novel karya Pasternak itu mengungkapkan pandangan Kristiani yang diwakili oleh paman tokoh utama. Dia menolak pandangan Kristen yang diwakili oleh Tolstoy yang menekankan kepada ritual, karena itu dia mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai pendeta gerejanya. Dia mementingkan ajaran Jesus yang menekankan kepada pembelaan terhadap kaum melarat dan tertindas. Ini mengingatkan saya kepada faham yang kemudian lahir di Amerika Latin, yaitu "Teologi Pembebasan" atau juga yang dikenal di kalangan Islam yang menekankan tafsir "Ibadah Sosial" sebagai yang terpenting dalam berkiprah menjalankan ajaran agama.
Pandangan pamannya itulah yang memengaruhi Zhivago. Dia tidak tertarik kepada agama, dan dia memilih menjadi seorang dokter yang dijiwai oleh hasrat untuk menolong orang lain dengan ilmunya. Jadi, kepercayaannya beralih dari agama kepada ilmu pengetahuan.
Bagaimana dia menjalani hidup spiritualnya? Caranya adalah dengan menulis puisi-puisi yang tidak ada kaitannya dengan masalah sosial apalagi bertema politik, melainkan puisi-puisi yang sangat pribadi sifatnya, antara lain ungkapan cintanya kepada Lara kekasihnya, wanita yang dicintainya gara-gara "pandangan pertama," dan bukan puisi untuk Tonia yang menjadi istri resminya.
Selanjutnya dalam hal ideologi atau pandangan hidupnya, saya menangkap Dokter Zhivago adalah seorang humanis yang antikekerasan, yang keras menolak ideologi komunisme yang menghilangkan kehadiran manusia sebagai pribadi, komunisme yang mengajarkan manusia pribadi tidak penting sebab ada cita-cita nun jauh di depan yang lebih besar. Oleh karena itu, komunisme menghalalkan segala cara, seperti yang dianut oleh Antipov (beralih nama menjadi Strelnikov setelah menjadi komandan Tentara Merah), yaitu suami Lara yang meninggalkan istri dan putrinya demi berjuang menegakkan komunisme di Uni Soviet dengan tangan besi dan darah. Bagi Dokter Zhivago, Marxisme itu sama sekali tidak ilmiah, jadi bukan ilmu pengetahuan. Padahal, pegangan hidupnya adalah ilmu pengetahuan.
Karya Dokter Zhivago ini diterbitkan ketika Uni Soviet sedang jaya-jayanya dan masyarakat luas di sana sedang gandrung kepada ajaran Komunisme. Alih-alih dari menjadi bagian dari mass-culture masyarakat komunis, Pasternak justru melawan arus besar itu. Akibatnya, dia pun dimusuhi oleh pemerintahnya.
Memang, ada yang mengatakan bahwa bagaimanapun secara keseluruhan Dokter Zhivago itu landasannya adalah ajaran kasih Kristiani juga. Masyarakat Kristiani itu eksis di sana meskipun di bawah peindasan kekuasaan komunis. Saya justru berbeda pendapat karena yang saya tangkap dari membaca novel itu adalah Dokter Zhivago itu tidak beragama meskipun percaya kepada adanya Tuhan, atau sesuatu yang misteri dalam hidup ini. Dia seorang agnostik.
Singkatnya, karya Pasternak itu selain bukan tergolong mass-culture apalagi "dakwah antikomunis," meskipun di dalamnya diungkapkan pandangan seperti itu, selain juga pandangan dari lawannya-lawannya seperti diwakili oleh Antipov misalnya, karya itu menekankan kepada relasi antara manusia-manusia pelakunya yang digambarkan sebagai makhluk berdaging, berdarah, bersyaraf, berfikir, berperasaan --- manusia-manusia yang hidup sebagai pribadi-pribadi empat dimensi, bukan sebagai tokoh dua demensi belaka. Tokoh-tokoh novel itu hidup sebagai anak manusia di dalam diri kita setelah kita baca novel itu. Itulah kondisi kemanusiaan kita di suatu tempat pada kurun waktu tertentu dalam perjalanan panjang sejarah manusia di bumi ini. Itulah sastra. Itulah seni. Menurut saya lo!***
Bloomington, November 2003.
*) Catatan ini saya buat setelah membaca "Tak Ada Sastra Islam?" tulisan Aguk Irawan "agukirawan@yahoo.ca", disiarkan lewat Khazanah terbitan 6 November 2003, sekadar sebagai pembanding saja, tidak ada maksud untuk membantah atau membenarkan isi tulisan tersebut. Aguk Irawan "agukirawan@yahoo.ca" berhak punya pendapat seperti itu, demikian juga yang lain yang mungkin punya pendapat berbeda, juga berhak tampil.*
ALBUM HITAM
Satu persatu wajah Indonesia kubuka
o betapa sederatan duka penuh luka
wajah anakanak berkejaran dengan air mata
menyayat o, perih o, kejamnya
mati tanpa matahari pagi
dan energi
siapa yang menerkam wajahwajah itu?
hilang dalam kesenyapan
tiada langit
tiada bumi
tiada cakrawa
terbakar api Ibukota
terapung dalam katakata
Kairo, 2005
KAU
Dari sini,
dari bermilmil jarak, juga lintas benua
kucium aromamu apak bercampur duka
meski tiada hujan yang jatuh
dari sini,
kukirimkan hujan air mata
jatuh deras mengulur tubuhmu
meski kering kembali kerontang
di sini aku melihatmu
berlari menatap butiran air mata
tak ada yang mengenalmu
orangorang diam
seperti karang di dalam lautan
langitmu adalah langit bekas
bumimu adalah bumi sampah
di ganggang jalan trotoar
barang rongsokan
kau begitu bau
kau begitu abu
kau begitu debu
retak dalam waktu
Kairo, 2005
SAJAK SEORANG AYAH KEPADA ANAKNYA
Anakku, maafkan ayahmu
kubawa kau di puncak yang paling perih
justru ketika orang bilang ini reformasi
iya anakku, jangan lagi kau tanya
apa itu demokrasi?
atau makna gambar partai?
sebab nyatanya hidup kita ini
tiap hari sendirisendiri
memanggang tubuh di terik mentari
memandang karduskardus bekas
botolbotol plastik atau
besibesi rongsokan
sama halnya rongsoknya
kehidupan di kotakota
rumahrumah megah
kantorkantor birokrat Negara
yang selalu membawa namanama kami
ah anakku, lihatlah Indonesia hari ini
betapa manusia menjadi batu
yang angkuh di tengah gelombang
betapa manusia menjadi kelam
gelap tak berbentuk
hanya seperti kerlip saja
persaudaraan lepas
kewajiban lepas
hak lepas
tak jauh seperti kardus bekas
yang terlipat dalam sampah
kemanusian terhempas
di tengah lautan
keadilan terselip dalam surga
yang tak pernah nyata
lihat itu para birokrat Negara
sibuk menghitung berapa miliar
jumlah pendepatan gelap
dengan fasilitas yang mewah
lalu menjelma menjadi rayap
dan srigala tua
ya, ya anakku, maafkan ayahmu
tak bisa mengajarimu
bagaimana cara menikmati puisi
atau mungkin riangnya bernyanyi
atau menari di negeri ini
sampai kau mati di tengah badai
sebab ini tubuh betapa melepuh
sebab ini kaki betapa lumpuh
sebab ini hati menjadi kaku
dan di kotakota orang hanya membisu
Kairo, 2005
EPISODE
Membacamu….
seperti membaca gerimis di tengah malam
bekejaran dengan petir dan kelam
dalam derai dan ketakutan
setiap satu kata adalah titik air dalam hujan
yang menembus kulitku
melahap jantungku
Kairo, 2005
إ